Rabu, 06 Agustus 2008

Dua Puluh dua Tahun, Satu Keluarga Menderita Lumpuh Layu

Berharap Ada yang Membantu,

jika Berobat Gratiskah?

Memprihatinkan. Selama 22 tahun pasangan Mat Saini (60) dan Nismawati (40), harus menghidupi empat anaknya yang lumpuh sejak usia satu tahun. Selain itu, warga Desa Sukarela Semuntul, Rantau Bayur, Banyuasin ini hampir putus asa didera kemiskinan. Bantuan yang mereka harapkan pun sangat jarang tiba.

----------------------------

Triono Junaidi - BANYUASIN

----------------------------

Kali Pertama Sumatera Ekspres mengunjungi rumah keluarga Mat Saini dan Nismawati ini, hampir tak percaya. Rumah panggung kecil ukuran 4x5 meter yang atapnya dari daun nipah, serta dinding dan lantainya dari papan yang sudah lapuk ini, sepintas tak ada penghuninya. Dari kejauhan rumah tersebut (maaf) seperti kandang kambing karena tiang penyangganya terbuat dari batang kayu yang utuh tanpa disugu. Disamping kanan kiri tumbuh rumput dan barang-barang berantakan.

Begitu koran ini sampai di depan tangga naik ke rumah tersebut, rasanya benar-benar trenyuh. Dua anak manusia tergolek tak berdaya. Mereka tergolek tak bersuara adalah Daud Damsir (9) dan Khoiriah (8), kondisinyanya hanya bisa menggeleng–gelengkan kepala. Oleh ibunya, sengaja mereka dibaringkan di teras rumah agar bisa menghirup udara segar dan terkena sinar matahari pagi, dari celah dinding dan atap yang memang renggang. Sedangkan kakak tertua Hilpawati (22) dan Hisnaini (10), malah sudah parah, tidak bisa diangkat-angkat lagi. Mereka berada di dalam ruang tamu yang merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, penuh barang-barang rumah tangga.

Pemandangan ini benar-benar terasa sangat memilukan. Ketika koran ini berada di rumah tersebut, empat anak yang lumpuh itu tidak ada yang menjaga. Kedua orangtuanya tidak ada di rumah. Kebetulan Ny Nismawati berada di sungai mencuci pakaian, sedangkan Mat Saini sehari-hari sebagai pedagang sayur di kalangan (pasar). Sedangkan tetangga paling dekat, kira-kira 4 meter dari rumah keluarga lumpuh itu, juga terlihat sepi.

”Maaf, baru saja mencuci pakaian kotor anak-anak, Pak,” ujar Ny Nismawati dengan jalan tergesa-gesa usai pulang dari sungai kepada koran ini. ”Selama 22 tahun kami tidak bisa melakukan apa-apa. Kami hanya bisa menjaga mereka. Menyuapi makan, mengganti pakaian kalau kencing dan berak. Mereka sudah tidak bisa apa-apa lagi. Yang paling lama lumpuh adalah anak nomor dua, yaitu Hilpawati. Sejak usia setahun, kini sudah 22 tahun. Padahal ketika bayi dulu, dia lahir normal seperti bayi umumnya, yaitu suka loncat-loncat,” ujar Hismawati sambil mempersilakan koran ini duduk.

Mereka seperti terkejut ketika koran ini masuk, tubuhnya yang kurus layu itu terlihat menggeliat-geliat. Kedua matanya membelalak ke atas dan mulutnya komat-kamit seperti ingin berbicara, tapi tak bisa. Mungkin punggung mereka terasa panas karena seharian tidur tanpa bisa mengganti posisinya.

Hilpawati, gadis usia 22 tahun, posisi tidurnya paling pinggir dekat rak piring makan dan disampingnya terdapat baterai accu untuk bola lampu penerang ruangan, serta sebelah pintu jendela tergolek Hisnaini, anak nomor dua, dekat rak barang-barang rumah tangga termasuk sepeda kayuh butut untuk alat transportasi bapaknya jualan sayur. Hismawati lalu mengangkat dua anaknya yang diteras, Daud Damsir dan Khoiriah untuk dikumpulkan dalam satu ruangan di ruang tamu.

Saat keempat anaknya ini kumpul jadi satu, siapapun rasanya ingin menangis melihatnya. Beberapa kali ibunya harus menggantikan celananya karena kencing di tempat. Lalu mencucinya agar bisa untuk gantian berikutnya. Belum lagi, suasana rumah yang sepi, seperti diakui Ny Nimawati selalu membuat pikiran meratap-ratap.

Sehari di ruangan kecil pengab yang hanya cukup untuk tidur keempat anaknya itu, rasanya ingin menangis. Tidak bisa dibayangkan bagaimana penderitaan Ny Nisnawati dan suaminya Mat Saini selama berpuluh-puluh tahun itu?

”Kami berharap, ada yang mau membantu kami. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tidak bisa bekerja karena harus menjaga mereka. Yang kerja hanya bapaknya, itupun hanya jualan sayur, untungnya cukup untuk makan sehari. Kami sangat berharap kepada anak saya yang paling kecil, mumpung belum parah, harapan kami ada yang mau membantu kami,’’ Nismawati mencoba untuk bersikap tabah, tapi terlihat titik air meleleh di pipinya sembari terus membenahi posisi tidur anak-anaknya.

Menurut Nisnawati, sebelum terjadi kelumpuhan total, tidak ada tanda-tanda yang mencolok, misalnya badan anak-anaknya panas tinggi atau gejala-gejala lain. ‘’Tak ada tanda-tanda yang mencolok, Pak. Demam juga tidak. Cuma anak saya sebelum lumpuh, badannya pernah tumbuh benjolan sebesar ibu jari berisi air. Kalau pecah, dia menangis karena perih. Tanda-tanda lainnya tidak ada. Rata-rata semuanya saat lahir ya normal seperti bayi umumnya,’’ jelas Nisnawati.

Baru menginjak 1 tahun lebih, mulai layu dan kedua kakinya mengecil hingga akhirnya tidak bisa bergerak. Nisnawati semula menganggap penyakit anaknya itu biasa-biasa, namun setelah 6 tahun kemudian dan melahirkan anak ketiga dan keempat, ternyata mengalami nasib yang sama, kecuali anak pertamanya bernama Indrayani yang tumbuh sebagai anak yang normal hingga perkawinan dan melahirkan anak. Begitu juga anak paling kecil, Khoiriah, meski kini sudah terlihat juga mulai layu, namun masih bisa untuk diajak bersenda gurau, sedangkan ketiga kakak-kakaknya sudah tak bisa apa-apa lagi.

”Bagaimana saya bisa membawa anak-anak saya ini berobat ke luar. Kami pasti akan membutuhkan banyak biaya. Selama ini, kami hanya berobat ke petugas kesehatan setempat, selanjutnya kami berobat ke dukun,” ujar wanita setengah baya itu sembari menuturkan bahwa upaya terakhir adalah meminta bantuan Kades Sukarela membawanya ke rumah sakit untuk berobat gratis.

Jarak rumah Matsani memang cukup jauh. Koran ini mencarter speedboat dari Jembatan Musi 2 menuju kawasan perairan Desa Sukarela. Perjalanan dengan speedboat selama satu jam, atau menggunakan kapal motor selama dua jam. Jarak tempat tinggal penderita lumpuh sekeluarga ini dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Semuntul kira-kira berjarak 3 km, atau 1 km dengan puskesmas pembantu dan rumah kepala desa (kades).

Ada satu hal yang merasa jadimasalah bagi Ny Nismawati bilakeempat anaknya jadi dibawa kerumah sakit. ‘’Apa benar, bisaberobat gratis?’’ begitulah kataNismawati balik bertanya. Kalausaja nantinya mendapat pengobatantapi Ny Nismawati merasatidak mampu untuk biayasehari-hari berada di rumah sakit. Hal itulah yang selalu menghantuiNy Nismawati dan Mat Sainimembawa anaknya berobat kerumah sakit. gratis,

”Kami kalau ada cukup biaya, paling-paling ke dukun. Atau kalau saya dengar ada orang pintar, saya datang. Mudah-mudahan anak yang paling kecil saya ini bisa segera ditolong,’’ jelas Nismawati yang saudara sepupunya di Lampung, Nasrudin (40), juga mengalami nasib yang sama. Ketiga anaknya, Gunawan, Angga, dan Sela juga menderita lumpuh. Mereka juga tidak memiliki gejala yang berarti, melainkan secara perlahan-lahan terjadi kelumpuhan.

Askaroni, kades Sukarela ketika ditemui koran ini, mengaku sudah melakukan upaya untuk menolong warganya yang menderita lumpuh itu. Salah satu upayanya adalah mengusahakan membuatkan KTP dan Kartu Keluarga untuk diteruskan ke rumah sakit sebagai pasien dari keluarga tidak mampu. ”Maklum saya baru beberapa bulan ini terpilih sebagai kades yang baru. Jadi baru kali ini kami mengusahakan untuk meringankan beban keluarga Mat Saini,’’ ujar Askaroni.

Pimpinan Puskesmas Semuntul, dr Hermanto, ketika dikonfirmasi Sumatera Ekspres mengatakan bahwa penderita lumpuh yang dialami keluarga Mat Saini dan Nismawati ini bukan lumpuh akibat folio, melainkan herediter atau penyakit yang diturunkan. Penyakit gen resesif merupakan masalah karena seorang yang memiliki gen resesif merupakan pembawa (carrier) dan tak menampakkan penyakitnya. Dengan demikian, tanpa disadari ia akan terus menyebarkan gen resesif pada keturunannya. Bila terjadi perkawinan antarsesama carrier untuk suatu penyakit resesif, barulah dapat muncul gejala penyakit tersebut, sehingga perkawinan antardua orang yang berhubungan keluarga, akan memperbesar risiko pemunculan penyakit genetik.

”Seseorang yang memiliki gen dominan akan menampakkan keadaan dominan tersebut. Memang penyakitnya itu mungkin tidak secara langsung, makanya ketika kita melihat kedua orangtuanya sehat, tapi bisa jadi anaknya atau cucunya yang mengalami,” ujar Hermanto. ”Dan ini sudah terjadi juga pada sepupunya yang di Lampung, juga mengalami penderitaan yang sama, anak-anaknya juga terkena lumpuh,” lanjut dokter.

Bgaimana menanggulanginya? Penderita sebaiknya memang harus dirawat supaya mendapat perawatan yang intensif dan mendapat asupan gizi yang baik. Setidaknya bisa memperlambat penyebaran penyakit dalam tubuhnya. Dan yang terpenting, kata Hermanto, dermawan yang mau menolong untuk meringankan beban kehidupan mereka. (*)