Jumat, 22 Februari 2008

Nurani Tak Boleh Mati

Merampas Harta Orang Miskin


Menjadi orang miskin itu memang selalu tidak enak. Dunia seperti tak pernah berpihak kepadanya. Mulai soal ekonomi, keadilan, kehormatan, maupun soal masa depan. Tugio, salah seorang warga transmigrans Airsugihan Jalur 23 Blok D, setiap hari selalu meratapi nasibnya yang tak kunjung berubah. Hamparan persawahannya tak menghasilkan apa-apa, lantaran muspro ditelan air asam (karat) dan serangan hama tikus. Sedangkan putrinya yang baru berusia 6 bulan sakit panas dan mencret-mencret.
‘’Apa yang bisa kita lakukan untuk menghasilkan uang Pak. Anak kita sakit panas, semalam mencret-mencret,’’ ujar Ginah, istri Tugio.
Mendengar istrinya minta uang untuk berobat anaknya, Kepala Tugio mendadak pusing dan dunia seperti gelap gulita. Tak ada yang bisa dilakukan dalam waktu sekejab untuk menghasilkan uang. Airsugihan bukanlah daerah perputaran ekonomi, bukan daerah perdagangan, melainkan daerah pertanian yang hanya menunggu hasil tani selama 4 bulan ke depan, itupun bila panen, bila tidak panen, berarti 8 bulan kedepan menunggu godot (menunggu ketidakpastian). Semua orang tahu Airsugihan merupakan daerah ‘terisolir’ dari dunia luar. Sedangkan jalan riding yang menghubungkan Sirsugihan dan Pampangan OKI, proyeknya selalu bermasalah. Dan kini jalan yang dijanjikan Bupati tuntas 2008 itu, belum ada kabar kejelasannya.
‘’Aku mau mancing, Mak. Siapa tahu Allah memberi rejeki. Ikannya nanti kita jual. Bila tidak laku, ya biaya berobat kita bayar pakai ikan itu,’’ ujar Tugio.
‘’Iyalah Pak, cepat sana mancing, soalnya aku kawatir nanti ada apa-apa dengan anak kita. Panasnya gak turun-turun,’’ Gina makin was-was.
Tugio cepat ambil stik dan cangkul mencari cacing di pematang sawahnya. Lantas cepat-cepat menuju sungai mencari tempat yang memungkinkan banyak ikan, Pada musim penghujan bulan lalu, ikan di sungai besar dan paret persawahan cukup banyak, namun akhir-akhir ini sudah sangat jarang lantaran banyak diestrum dan diputas orang. Di sungai besar tinggal jenis ikan lele dan baung yang berukuran kecil. Hampir dua jam Tugio berpindah-pindah mencari tempat yang banyak ikannya. Tapi hasilnya belum memuaskan lantaran baru dapat 7 ekor ikan gabus sebesar pergelangan anak usia SD dan 4 ikan betok sebesar tiga ibu jari. Tugio sudah merasa senang, berarti harapan untuk mengobati anaknya yang sakit parah bakal kesampaian.
Sembari memasang pancingnya di pinggir sungai, Tugio menimbang-nimbang ikannya yang berada di kantong plastik asoy, diperkirakan baru setengah kilogram. Masih kurang banyak, karena satu kilogramnya hanya bisa dihargai Rp 5 ribu. Sedangkan biaya berobat umumnya Rp 20 ribu. Ini berarti Tugio harus memperoleh tambahan ikan sebanyak 3,5 kilogram.
Tak terasa, hampir setengah hari Tugio menyusuri pinggiran sungai. Hasil tangkapannya masih sangat tanggung. Tapi Tugio tak mau menyerah, sejurus langkahnya menuju tempat pemancingan yang lain, tiba-tiba seorang pria setengah baya menghentikan langkah Tugio.
‘’Hei, dilarang mincing di sungai,’’ teriak lelaki pendatang yang belum pernah dikenalnya. Tugio berpikir sejenak, siapa sebenarnya lelaki itu? Polisikah, sebab dari perangainya yang kasar, membuat Tugio membolak-balikkan pikirannya, mungkin polisi, mungkin preman, mungkin orang usil dan lain-lain.
Lama Tugio bengong. Baru kali ini setelah 25 tahun hidup di daerah trans Airsugihan dilarang memancing di sungai. Memangnya sungai ini milik siapa? Tuhan saja tidak melarang manusia memancing di sungai, kok ada orang tiba-tiba melarang? Airsugihan selama ini aman, penuh kebersamaan dan gotong royong. Jauh dari hal-hal yang bersifat anarki dan tindak kriminal lainnya. ‘’Aneh, nggak waras,’’ umpat Tugio dalam hati. Tugio pun tak menggubris omongan lelaki tersebut.
‘’Kenapa kamu masih saja mancing?’’ lelaki tersebut memperlihatkan roman mukanya yang marah sembari merampas ikan hasil tangkapan Tugio tersebut. Tugio tak mampu berbuat banyak. Sembari memandangi kantong plastik asoy warna hitam yang dirampas lelaki pendatang itu, tak terasa titik air mata pun meleh di pipi Tugio.
Untung Tugio masih diberi kesabaran untuk meratapi isi kantong plastik itu. Bagi Tugio, itu bagian dari nyawa anaknya yang kini menahan sakit panas. Kalau tidak, bisa saja Tugio berbuat nekad dengan membacok lelaki sombong itu dengan parang yang dipegangnya. Dengan menghela nafas panjang, Tugio mencoba meredakan emosinya, lalu duduk termenung di pinggir sungai. Waktu menuju maghrib tinggal beberapa menit, tidak mungkin lagi bagi Tugio melanjutkan memancing ikan di sungai.
Akhirnya Tugio pulang dengan tangan kosong. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk jarum. Sakit dan pedih. Kejadian yang sangat menyakitkan sepanjang hidup Tugio, disaat anaknya sakit dan tidak memiliki uang serupiahpun. Giliran ada sedikit ikan yang akan dijual, ternyata dirampas orang. Jumlahnya memang tidak seberapa dibanding sakitnya anak Tugio yang bibirnya sudah membiru. Tentu sangat berarti.
‘’Terus bagaimana Pak,’’ ucap istri Tugio.
‘’Ya sudah kita bawa saja anak kita ke bidan desa. Mumpung belum benar-benar terlambat. Kan sakitnya baru dua hari ini. Biarlah nanti kita ngomong terus terang dengan Ibu Bidan,’’ kata Tugio.
Sesampainya di tempat praktek bidan desa, Tugio langsung membawa anaknya masuk ke ruang pengobatan. ‘’Sudah berapa hari panasnya, Pak?’’ tanya bidan sembari memeriksa perut anak saya dan meraba-raba punggungnya yang masih terasa panas. ‘’Dua hari ini, Bu. Selain panas, juga mencret-mencret,’’ sela istri Tugio.
‘’Saya hanya akan kasih racikan penurun panas. Sebabnya anak ini tidak mungkin disuntik, selain masih bayi, juga kondisi badanya masih panas. Kasih minum banyak-banyak dan dikompres setelah pulang dari sini,’’ pinta ibu bidan.
‘’Ya, Bu,’’ jawab Tugio.
Setelah bidan desa menyodorkan racikan penurun panas, mulut saya terasa berat berterus terang bahwa saya tidak punya uang untuk membayar pengobatan ini.
‘’Maaf Bu, saya nggak punya uang untuk ongkos pengobatan. Tadi siang bapaknya mancing, maksudnya mau dijual buat pengobatan, tapi ikannya diminta orang, katanya dilarang memancing. Jadi ya minta maaf Bu, saya nggak punya uang,’’ ujar istri Tugio.
Ibu Bidan lama memandangi istri saya dan anak saya yang bibirnya terlihat pucat. Tidak seperti biasanya, setiap menangani pasien separah apapun, Ibu Bidan bersikap biasa-biasa. Tapi kali ini, ibu bidan seperti terkejut dan sempat termenung. Bahkan Tugio melihat kedua mata Ibu Bidan terlihat lembab. ‘’Apa karena dia kasihan dengan anak saya, ya?’’ batin Tugio.
‘’Ini sekedar buat kebutuhan Ibu di rumah. Anaknya jangan lupa dikompres, ya,’’ Ibu Bidan menyodorkan amplob berisi uang seratus ribu rupiah. Tugio merasa kebingungan menerima pemberian ibu bidan. ‘’Bukankah seharusnya kami yang membayar biaya pengobatan?’’ piker Tugio. ‘’Terima kasih Bu, smoga Allah memberi rezeki banyak pada Ibu,’’ sahut Tugio singkat.
Ibu Bidan langsung masuk kamar, mencari putrinya yang bernama Ninda. ‘’Ninda, ikannya sudah digoreng apa belum? Kalau belum, kasihkan orang, atau buang saja,’’ kata ibu Bidan.
‘’Lho ada apa Bu,’’ Tanya Ninda keheranan.
‘’Pokoknya jangan dimasak. Buang saja, atau kasihkan orang sana,’’ pesan ibu Bidan. Ternyata ibu Bidan tahu bahwa sore tadi menantunya bernama Dedy, memang membawa ikan gabus dalam kantong plastik warna hitam berjumlah 7 ekor dan 4 ekor ikan betok. Mungkin ikan yang dimaksud Tugio dirampas orang dengan modus melarang memancing, ya ikan yang siap dimasak putrinya. Hati Ibu Bidan pun terasa hancur meskipun belum sempat makan harta orang yang sedang kesusahan itu. Ibu bidan tak melanjutkan kata-katanya lagi kepada putrinya kecuali terus mengusap airmatanya yang meleleh ke pipinya. ‘’Ya Allah, engkau telah mengingatkan kami dari ketamakan, dan memakan harta orang miskin…ampunilah kami ya Allah…’’ Ibu bidan berdoa dalam hati.

Palembang, 22 Februari 2008

(Seperti diceritakan Tugio, nama samaran, kepada T Junaidi)








.

Bercerita kepada Allah

Kisah Kesetiaan Suami (KKS)

Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. mereka menikah sudah lebih 32 tahun.
Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa,setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bias digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.
Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian.
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan pak suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan pak suyatno memutuskan ibu mereka Dia yg merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata " Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak.bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu" .
dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya "sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi ,kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak,kami janji kami akan merawat ibu bergantian".
Pak suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka." Anak2ku Jikalau hidup didunia ini hanya untuk nafsu Mungkin bapak akan menikah, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah Melahirkan kalian".. sejenak kerongkongannya tersekat,
kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat menghargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini. kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang". kalian menginginkan bapak yg masih diberi Allah kesehatan dirawat oleh orang lain bagaimana dengan ibumu yg masih sakit.
Sejenak meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh
dipelupuk mata ibu suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.
Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber diacara islami Selepas shubuh dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa2..disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru disitulah pak suyatno bercerita".
Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai karena Allah semuanya akan luntur. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu2..
Sekarang dia sakit berkorban untuk saya karena Allah..dan itu merupakan ujian bagi saya, sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit,,,setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya dapat bercerita kepada Allah dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya..

Minggu, 10 Februari 2008

Apa Beda Merampok Dengan 86 ?




Suatu saat ada perampok tak mengakui sebagai perampok, tapi mereka bilang cuma mau 86


Koran-koran edisi Sabtu 26 Januari 2008, menempatkan berita utama drama perampokan yang dilakukan 5 oknum polisi di Palembang. Korbannya pengendara sepeda motor pasangan suami istri (pasutri) bernama Suryadi dan Suryani, pemilik sebuah counter Hp di bilangan Jl Beringin Janggut, warga Jl Kolonel H Barlian, RT 25/09, Kecamatan Sukarami, Palembang. Modusnya memang cukup dramatis, sebab pasutri ini disekap di dalam mobil dan dibawa berputar-putar selama empat jam dengan mata tertutup, mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB, Rabu (23/1). Selanjutnya, seperti dilaporkan korban kepada Propam Polda, Kamis (24/01/08) pelaku mengatakan korban ada uang berapa jika ingin dilepas lagi. Malam itu, korban terpaksa menyerahkan uangnya Rp7 juta dan 1 unit Hp Sony Ericcson. Berhasil menguasai uang dan Hp tersebut, kedua korban diturunkan di kawasan Pakjo ujung, sekitar pukul 23.00 WIB sembari mengembalikan sepeda motor milik korban. Kasus akhirnya berkembang dengan istilah lain--versi polisi, yakni menangkap kasus sabu-sabu (SS) kemudian ditangani sendiri dengan cara di 86-kan. Wah wah… -------------------------- Istilah 86 memang cukup popular dikalangan aparat dan menjadi buah bibir para wartawan yang ngendon (ngepos) di kantor polisi. Para Redaktur surat kabar sering kecolongan dengan istilah 86 ini, padahal subtansi isi permasalahannya mungkin lebih menarik, namun karena di-86-kan, alias damai, membuat para wartawan lupa dengan naluri jurnalistiknya. Mungkin juga penyakit ketidaksadaran secara kolektif membuat wartawan yang ngendon di kantor polisi ikut mengamini 86. Dan besoknya tidak ada berita yang harus ditulis karena sudah di-86-kan, alias Berita Acara Pidana (BAP) dianggap tak pernah ada. Bila sudah demikian, apa yang harus diberitakan? Semua aman. Nah karena 86 ini dianggap aman, maka 86 bisa dikawatirkan menjadi senjata ampuh untuk melegalkan tindakan tak terpuji yang dilakukan oknum polisi atau penegak hukum. Apapun bisa di-86-kan tergantung berapa karat dan seberapa banyak harga tawarnya. Bila dianggap memuaskan, kasus-kasus hukum dengan gampang dihapus tanpa proses hukum lebih lanjut. Kasus 86 ini sebenarnya juga tak asing di kalangan masyarakat, terutama orang-orang yang berkutat dibidang pekerjaan yang berbau illegal, bisa masalah kayu, judi, pencuri, panti pijat terselubung alias prostitusi, dll. Bahkan sering kita dengar menimpa masyarakat pedesaan yang tidak mengerti masalah hukum. Yang jadi pertanyaan, apa bedanya 86 dengan memeras atau merampok secara halus? Mungkin suatu saat nanti ada perampok yang tidak mau mengakui sebagai perampok, tapi mereka mengatakan, ‘’Kami bukan perampok pak, cuma mau 86,’’

Benteng Kuto Besak Tinggal Kenangan


Benteng Kuto Besak Tinggal Kenangan Sungai Musi memang cukup melegenda. Sungai yang mengalir dari muara sungai Sungsang hingga ke sembilan anak sungai musi di Sumsel ini, telah melahirkan banyak cerita, mulai dari kisah cinta asmara Siti Fatimah dan anak Raja China Tan Bun An di tengah sungai musi, bajak laut tersohor hingga mendirikan kerajaan Naga Pura (sebelum kerajaan Palembang Darussalam), cerita heroik Sultan Mahmud Badaruddin II, hingga cerita misteri jatuhnya helly dan pesawat silk air yang korbanya (baik pesawat maupun penumpangnya) hanya ditemukan berkeping-keping sebesar ibu jari). Sungai Musi memang sumber impian semua orang—telah melahirkan ispirasi kreatif para musisi untuk menciptakan lagu-lagu berkaitan dengan sungai musi, missal almarhum Karel Simon dengan lagu legendanya, Si Biduk di Sungai Musi, Mutiara dari Palembang, Palembang diwaktu malam dan lain-lain. Seorang T Wijaya (cerpenis) terinspirasi sungai musi untuk membuat novel Juaro, begitu juga saya menulis ‘Keangkuhan di Geladak Kapal’ dibukukan dalam kumpulan cerpen ROMANSA dan lain-lain. Sungai Musi bukan tidak penting, juga bukan hal yang tak beralasan bila akhirnya dijadikan Visit Musi 2008 atau kunjungan wisata. Secara kasat mata, tak ada yang spesifik untuk dikagumi memang, airnya keruh, banyak sampah berserakan dipinggir Benteng Kuto Besak (BKB) yang merupakan ‘jantung hati’ alias tabir wisata musi kita. Kawasan alun-alunnya (tempat santai) hanya di depan Museum, selebihnya bibir sungai yang penuh dengan sampah. Pada pembukaan Visit Musi 2008 yang menelan dana miliyaran rupiah juga tidak spektakuler. Konser acara juga kurang menggigit, karena karya anak daerah kurang diakomodir, padalah seniman kreatif asli Palembang cukup banyak, Palembang juga punya Gedung Kesenian yang cukup mewah, ruang teater ber-Air Conditional (AC) dan cukup representatif untuk sebuah pertunjukan berskala nasional. Agenda ini sebenarnya penting untuk memberikan tontonan bergengsi dan intelek. Seperti di Thailand, ketika kita sampai di Thailand, langsung dikondisikan rencana perjalanan, mulai dari mengarungi sungai di Thailand, juga malamnya ‘dipaksa’ nonton teater yang merupakan karya anak bangsa Thailand. Benteng Kuto Besak menjadi saksi sejarah yang bisa ‘dijual’ kepada turis domestik maupun manca negara. Ketika orang memasuki gerbang Benteng yang bertembok besar dan kokoh, langsung terlintas di ingatan kita mengenai kisah heroik Sultan Mahmud Badaruddin II, yang merupakan tokoh pahlawan nasional dari Sumsel. Tapi apa dikata, Benteng sejarah itu hanya bisa dilihat dari luarnya saja. Sebab dalam Benteng Kuto Besak itu, isinya para serdadu dari Kesatuan Kesehatan DAM II Sriwijaya. Tidak ada yang bisa kita bawa pulang setelah melancong hingga ke BKB. Tentu saja harapan para turis ketika sampai di BKB, ada yang bisa dibawa pulang mengenai cerita-cerita sejarah Palembang. Sebab dalam Benteng tersebut, lengkap ada ruang-ruang yang konon merupakan ruang utama kesultanan, kamar mandi, kamar para istri (selir) dan juga ruang tahanan bawah tanah (pada pemerintahan Belanda) yang letaknya di belakang kantor pos pusat Palembang (kini dijadikan taman RS AK Gani). Entah bagaimana lagi arsitektur dan tata letak tahanan aslinya itu. Tak hanya BKB yang tinggal sejarah, Gua Jepang yang terletak di KM 5 juga menjadi gua sarang sampah dan cenderung ditimbun. Padahal gua jepang itu juga menyimpan nilai sejarah kepahlawanan bangsa kita merebut kemerdekaan. Lho, kok dilupakan begitu saja. Apa kata Bung Karno sang proklamator RI? JASMERAH ! (Jangan sekali-kali melupakan sejarah).

Berkawan Akrab Dengan Preman Musi


Gara-gara Pempek Ubi Awal terjadinya cerpen ‘Keangkuhan di Geladak Kapal’ (kumpulan buku Romansa 1996) tak lain merupakan potret lengkap Benteng Kuto Besak tahun 1992. Saat itu Benteng Kuto Besak benar-benar menjadi daerah texas. Sarang preman kelas teri hingga kelas bajak laut. Pokoknya Benteng ngetop dari sisi penjahatnya. Saya sadar Benteng Kuto Besak saat itu memang angker, tapi saya tak pernah menaruh rasa angker dalam hati saya. Yang terlintas di kepala saya, adalah jembatan Ampera dan sungai Musi. Mengapa saya penasaran dengan sungai Musi dan jembatan Ampera? Pertama sungai Musi dan Jembatan Ampera masuk dalam buku pelajaran sejarah kelas IV SD tahun 1980-an. Dan ketika saya menjawab soal tentang sungai terlebar di Indonesia adalah sungai Musi, saya mendapat nilai seratus oleh guru SD saya ketika di Jawa. Whow… Dan ketika saya dewasa, saya benar-benar melancong ke Palembang. Kawasan yang pertama saya tuju adalah Jembatan Ampera, kemudian saya duduk-duduk dipinggir sungai Musi (sebelum plaza BKB) pinggiran sungai musi terutama dibawah jembatan Ampera, benar-benar jorok. Sampah menggung dimana-mana. Sepanjang jalan BKB dijadikan tempat jualan pisang, ubi, dan warung kopi plus tempat mangkal para calo penumpang speedboard yang juga merangkap sebagai preman. Saya benar-benar menikmati suasana semrawut seperti itu. Saya suka dengan lalu lalang kapal jukung, speed, dan beberapa kapal-kapal pedagang. Tentu saja ini hal yang baru bagi saya, karena ditempat saya lahir, Semarang, saya hanya bisa melihat hamparan persawahan, bukan melihat sungai lebar seperti sungai Musi. Setengah jam kemudian setelah saya menyaksikan kesemrawutan sungai musi, tiba-tiba dua orang setengah baya duduk disamping kiri dan kanan saya. Dua orang kemudian dibelakang dan di depan saya. ‘’Mau kemana mas,’’ sapa mereka dengan nada sopan. Saya jawab, ‘’Saya hanya ingin melihat sungai.’’ Mereka mulai menggeser duduknya merapat di tempat duduk saya. ‘’Orang baru ya,’’ kata salah seorang dari mereka. ‘’Maksudnya…?’’ tanya saya. ‘’Maksudnya dari seberang Jawa?’’ Saya jawab iya. ‘’Kenalan dong’’ sembari mengulurkan tangannya. Saya pun menyambut hangat perkenalan mereka. ‘’Bagi rokoknya,’’ kata salah seorang dari mereka. Saya menyodorkan sebungkus rokok Bentoel (wah iklan ini). Mereka menggelengkan kepala. ‘’Disini gak ada rokok bentoel, batuk. Mereka maunya rokok Dji Sam Soe,’’ kantanya. ‘’Bajigur…!’’ umpat saya dalam hati. ‘’Nih ada 20 ribu’’ saya mengeluarkan dompet dan meletakkan 2 lembar 10 ribuan di atas rokok bentoel. Teman yang lain memegang tangan saya dan melihat arloji yang saya pakai. ‘’Wah Seiko otomatis, bagus ini,’’ kata salah seorang dari mereka. Saya jawab, ‘’Kamu mau? Ambillah kalau mau …’’ kata saya. Dia lalu melepaskan tangan saya. Saya tetap cuek menghisap rokok sembari terus menyaksikan suasana sungai Musi. Lama-lama teman-teman yang tadinya mengepung, satu persatu berlalu begitu saja tanpa ada yang mau mengambil uang yang saya letakkan di atas rokok, begitu juga arloji yang saya pakai. Esok harinya saya mengulangi nongkrong di pinggir sungai musi. Keempat orang yang kemarin mengepung saya tak lagi tampak. Tapi kali ini yang datang orangnya tinggi besar (gendut) dengan cirri tai lalat dipinggir hidungnya. Orang-orang Benteng menyebut dia adalah Kadir Pentol. Entah, mungkin karena kecuekan saya, sehingga saya malas untuk mengira-ngira tentang seorang Kadir Pentol, apakah dia preman hebat atau orang biasa-biasa, saya tak mau ambil pusing. Tapi dari gelagatnya, dia sangat disegani di kawasan Benteng. Saya kemudian hanya duduk ditemani Kadir Pentol seharian di pinggir musi. Pembicaraan kami ngalor-ngidul tanpa ada tujuan, hingga akhirnya saya membicarakan tentang sejarah sungai musi yang menjadi impian saya sejak kecil. Kadir Pentol pun manggut-manggut. ‘’Jadi kamu seharian hanya melihat sungai musi?’’ kata Kadir Pentol seperti keheranan. ‘’Ya, saya juga bisa makan pempek asli Palembang. Sebab selama ini pempek-pempek yang saya makan hanyalah pempek yang terbuat dari ubi kayu yang diisi gula merah lalu dipanggang,’’ Kadir Pentol langsung tertawa terbahak-bahak. ‘’Dasar Jawo…’’ gurau Kadir sembari menepuk pundak saya. ‘’Aku yang traktir makan pempek Palembang,’’ tiba-tiba Kadir menawarkan kebaikan pada saya dengan bahasa Palembang kental. ‘’Gak usah, saya aja yang traktir, saya masih ada uang tujuh ribu rupiah,’’ kata saya. Kadir hanya cengar-cengir. ‘’Dengan uang tujuh ribu kok bangga,’’ katanya lagi. Keesokan harinya, saya datang lagi ke pinggir sungai Musi. Kali ini tidak langsung duduk, tapi mata saya menyapu kesemua arah mencari Kadir Pentol. Tapi gerak-gerik saya justru menjadi perhatian orang-orang yang nongkrong disana. Akhirnya saya menjadi ‘mangsa’ bagi para calo dan preman di sana. Untung saya tidak kehilangan apa-apa, karena saya memang gak punya apa-apa. Dan pada saat bersamaan, Kadir Pentol tiba-tiba muncul dari balik warung kopi sembari menuding kearah orang-orang yang mengerumuni saya. ‘’Hoii…jangan ganggu, tabok kau…!’’ gertak Kadir. Saya sempat bingung, apa yang sebenarnya terjadi? Lantas siapa sesungguhnya Kadir Pentol? Sejak saat itulah aku tak pernah diganggu orang. Malah sebaliknya, saya seperti jagoan baru yang ditakuti di sarang preman. Saya sendiri tidak tahu mengapa orang takut pada saya, padahal saya sesungguhnya orang yang tidak bisa berkelahi dan tidak punya bakat untuk berkelahi. Beberapa tahun setelah saya tidak lagi nongol di pinggir musi, Kadir Pentol dikabarkan telah meninggal dunia karena dikeroyok preman lain. Innalillahiwainnailaihi roojiun…! Inilah seklumit perkenalan saya sebagai turis domestik bersama preman musi, dan menjadikan inspirasi saya membuat cerpen Keangkuhan di Geladak Kapal. Mudah-mudahan perkenalan Visit Musi 2008 bisa lebih santun lagi! Meski pada pembukaan Visit Musi 2008 sempat diwarnai insiden berdarah di halaman museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Musi memang tak habis menorehkan tinta sejarah baru.

Nasib Petani Kini



Oleh : T Junaidi
Sepuluh tahun saya merasakan menjadi anak petani ulung di pelosok desa pedalaman Airsugihan. Sebuah desa yang sulit dijangkau orang kota. Tidak ada jalan darat yang mampu menghubungkan desa kami menuju kota Palembang. Satu-satunya jalan yang bisa dilalui adalah menyusuri sungai dan rawa-rawa. Meski desa kami ‘terisolasi’ dengan daerah luar, anehnya selama puluhan tahun saya dan petani-petani lainnya bangga menjadi petani. Kebanggaan itu terutama ketika pemerintah selalu mengagung-agungkan petani sebagai orang yang berjasa terhadap negeri ini. Kami adalah ujung tombak kemakmuran dan penopang program swasembada pangan negeri ini. Kami sangat bangga.

------------------------


Sepuluh tahun kedepan, kebanggaan saya menjadi petani ulung pun sirna, setelah saya mencoba menjadi orang kota yang sedikit menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, meskipun masih berkelas komputer WS. Saya kemudian berpikir, alangkah bodohnya saya menjadi seorang petani yang selalu dimarjinalkan oleh ruang dan waktu. Selamanya saya tak mampu merubah nasib miskin menjadi kaya, kecuali saya memutar otak menjadi orang pintar, dan sekarang menjadi sedikit kaya. Sepuluh tahun kemudian, saya mencoba menengok desa saya yang saya tinggalkan, tak ada perubahan kemajuan yang menyolok, keculi kabar buruk bahwa desa saya menjadi pusat perhatian karena kemiskinannya. Menyongsong musim panen tiba pada bulan Maret nanti, petani kini sudah disongsong pula dengan harga beras yang melambung. Saya kembali merasa terpukul. Nasib petani memang tak pernah berubah, mereka tetaplah menjadi aktor penderita dalam berbagai hal, terutama kebijakan impor beras pemerintah tahun lalu maupun kini. Hingga memasuki 25 tahun sejak 1982 menjadi warga trans di jalur 23 Airsugihan, merupakan waktu yang cukup lama untuk merubah nasib. Lagi-lagi petani merasa bangga menjadi petani, termasuk bapak saya yang dulu pernah memanggul senjata sebagai pejuang kemerdekaan RI dan sekarang mendapat penghargaan tunjangan veteran (tuvet) dari pemerintah sebesar Rp 500 ribu per-bulan, bapak bilang petani merupakan pejuang sejati negeri ini. Sebab sejak jaman penjajahan dulu, petani sebagai pemasok logistik bagi pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan. Setiap panen tiba, mereka juga harus menyetor sebagian hasil panennya kepada penjajah Jepang ataupun Belanda. Setelah merdeka, mereka diangkat derajadnya sebagai peran utama dalam program lumbung pangan nasional. Predikat yang sangat membanggakan bagi mereka. Dan sekarang memasuki era reformasi yang menumbangkan orde baru dan orde-orde terbaru, petani tetap sebagai batu pijakan bagi kepentingan orang kota dan tengkulak kaya raya. Saya sedih, tetapi bapak saya tetap bangga menjadi petani. Begitu juga petani-petani yang lain, mereka tidak pernah merasa menjadi sebagai pejuang yang memakmurkan negerinya. Sampai-sampai mereka juga tidak sempat merasakan hasil panen yang ditanam dan dirawatnya selama empat bulan dihamparan persawahan. Sebab hasil panen mereka habis untuk membayar hutang selama musim cocok tanam. Perjuangan tanpa pamrih ini tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak. Petani selalu saja menjadi kaum yang terpinggirkan. Selalu menjadi bahan pergunjingan kaum elit, bahkan sering dituding sebagai pemasok angka kemiskinan nasional terbesar. Dan karena kemiskinannya ini pulalah mereka selalu dijadikan sebagai komoditas politik pihak-pihak tertentu. Saya jadi teringat dengan kejadian 25 tahun yang lalu, pada saat itu petani diagung-agungkan oleh pemerintah karena menjadi aktor utama dalam pembangunan bangsa. Tanpa peran serta petani maka negara Indonesia tidak akan ada artinya apa-apa. Kemudian para petani pun berlomba-lomba untuk memaksa produksinya masing-masing. Berbagai carapun dilakukan untuk menggarap sawah dan ladang. Mereka tak peduli bahwa ongkos menggarap sawah itu mahal, segala cara dilakukan termasuk hutang untuk mendapatkan bibit padi, obat-obatan, pupuk dan pengelolaan tanah. Tak hanya itu, petani terkadang juga mengorbankan masa kecil anak-anaknya untuk ikut menggenjot penggarapan sawah. Tak heran kebanyakan anak petani tak pernah aktif masuk sekolah, alasannya membantu orang tua menggarap sawah. Guru-Guru di desa pun maklum dengan kondisi seperti itu. Yang menyakitkan, ketika petani benar-benar bersemangat menggarap sawah, berbagai jenis obat-obatan untuk pertanian justru harganya mahal, pupuk bersubsidi jatahnya dikurangi, bahkan setelah sampai di tangan petani harga jualnya setinggi langit dan sulitnya mendapatkan barang-barang tersebut di pasaran. Harga pupuk yang biasanya dijual Rp 65 ribu, bila sapai dipedagang bisa mencapai Rp 75 ribu atau Rp 100 ribu bila ngutang. Dan disaat petani menjerit dengan segala kesulitannya itu, disongsong harga beras ikut-ikutan tak mau kompromi, maka lengkaplah petani sebagai aktor pelengkap penderita. Dan yang paling menyakitkan lagi, pemerintah mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton karena alasan menipisnya stok pangan nasional. Petani benar-benar sekarat. Bagaimana tidak, disaat mereka mengalami hantaman kanan-kiri, nyatanya pemerintah tidak segera turun tangan, malahan sibuk memperjuangkan nasib para pengusaha dan pemilik modal besar. Pemerintah berani melukai hati para petani dengan mengimpor beras dikala petani sedang akan menikmati harga beras yang merambat naik. Dengan entengnya mengatakan kalau persediaan pangan nasional bakal segera habis padahal beberapa minggu lagi akan tiba masa panen raya. Duh, nasib petani!