Jumat, 22 Februari 2008
Nurani Tak Boleh Mati
Menjadi orang miskin itu memang selalu tidak enak. Dunia seperti tak pernah berpihak kepadanya. Mulai soal ekonomi, keadilan, kehormatan, maupun soal masa depan. Tugio, salah seorang warga transmigrans Airsugihan Jalur 23 Blok D, setiap hari selalu meratapi nasibnya yang tak kunjung berubah. Hamparan persawahannya tak menghasilkan apa-apa, lantaran muspro ditelan air asam (karat) dan serangan hama tikus. Sedangkan putrinya yang baru berusia 6 bulan sakit panas dan mencret-mencret.
‘’Apa yang bisa kita lakukan untuk menghasilkan uang Pak. Anak kita sakit panas, semalam mencret-mencret,’’ ujar Ginah, istri Tugio.
Mendengar istrinya minta uang untuk berobat anaknya, Kepala Tugio mendadak pusing dan dunia seperti gelap gulita. Tak ada yang bisa dilakukan dalam waktu sekejab untuk menghasilkan uang. Airsugihan bukanlah daerah perputaran ekonomi, bukan daerah perdagangan, melainkan daerah pertanian yang hanya menunggu hasil tani selama 4 bulan ke depan, itupun bila panen, bila tidak panen, berarti 8 bulan kedepan menunggu godot (menunggu ketidakpastian). Semua orang tahu Airsugihan merupakan daerah ‘terisolir’ dari dunia luar. Sedangkan jalan riding yang menghubungkan Sirsugihan dan Pampangan OKI, proyeknya selalu bermasalah. Dan kini jalan yang dijanjikan Bupati tuntas 2008 itu, belum ada kabar kejelasannya.
‘’Aku mau mancing, Mak. Siapa tahu Allah memberi rejeki. Ikannya nanti kita jual. Bila tidak laku, ya biaya berobat kita bayar pakai ikan itu,’’ ujar Tugio.
‘’Iyalah Pak, cepat sana mancing, soalnya aku kawatir nanti ada apa-apa dengan anak kita. Panasnya gak turun-turun,’’ Gina makin was-was.
Tugio cepat ambil stik dan cangkul mencari cacing di pematang sawahnya. Lantas cepat-cepat menuju sungai mencari tempat yang memungkinkan banyak ikan, Pada musim penghujan bulan lalu, ikan di sungai besar dan paret persawahan cukup banyak, namun akhir-akhir ini sudah sangat jarang lantaran banyak diestrum dan diputas orang. Di sungai besar tinggal jenis ikan lele dan baung yang berukuran kecil. Hampir dua jam Tugio berpindah-pindah mencari tempat yang banyak ikannya. Tapi hasilnya belum memuaskan lantaran baru dapat 7 ekor ikan gabus sebesar pergelangan anak usia SD dan 4 ikan betok sebesar tiga ibu jari. Tugio sudah merasa senang, berarti harapan untuk mengobati anaknya yang sakit parah bakal kesampaian.
Sembari memasang pancingnya di pinggir sungai, Tugio menimbang-nimbang ikannya yang berada di kantong plastik asoy, diperkirakan baru setengah kilogram. Masih kurang banyak, karena satu kilogramnya hanya bisa dihargai Rp 5 ribu. Sedangkan biaya berobat umumnya Rp 20 ribu. Ini berarti Tugio harus memperoleh tambahan ikan sebanyak 3,5 kilogram.
Tak terasa, hampir setengah hari Tugio menyusuri pinggiran sungai. Hasil tangkapannya masih sangat tanggung. Tapi Tugio tak mau menyerah, sejurus langkahnya menuju tempat pemancingan yang lain, tiba-tiba seorang pria setengah baya menghentikan langkah Tugio.
‘’Hei, dilarang mincing di sungai,’’ teriak lelaki pendatang yang belum pernah dikenalnya. Tugio berpikir sejenak, siapa sebenarnya lelaki itu? Polisikah, sebab dari perangainya yang kasar, membuat Tugio membolak-balikkan pikirannya, mungkin polisi, mungkin preman, mungkin orang usil dan lain-lain.
Lama Tugio bengong. Baru kali ini setelah 25 tahun hidup di daerah trans Airsugihan dilarang memancing di sungai. Memangnya sungai ini milik siapa? Tuhan saja tidak melarang manusia memancing di sungai, kok ada orang tiba-tiba melarang? Airsugihan selama ini aman, penuh kebersamaan dan gotong royong. Jauh dari hal-hal yang bersifat anarki dan tindak kriminal lainnya. ‘’Aneh, nggak waras,’’ umpat Tugio dalam hati. Tugio pun tak menggubris omongan lelaki tersebut.
‘’Kenapa kamu masih saja mancing?’’ lelaki tersebut memperlihatkan roman mukanya yang marah sembari merampas ikan hasil tangkapan Tugio tersebut. Tugio tak mampu berbuat banyak. Sembari memandangi kantong plastik asoy warna hitam yang dirampas lelaki pendatang itu, tak terasa titik air mata pun meleh di pipi Tugio.
Untung Tugio masih diberi kesabaran untuk meratapi isi kantong plastik itu. Bagi Tugio, itu bagian dari nyawa anaknya yang kini menahan sakit panas. Kalau tidak, bisa saja Tugio berbuat nekad dengan membacok lelaki sombong itu dengan parang yang dipegangnya. Dengan menghela nafas panjang, Tugio mencoba meredakan emosinya, lalu duduk termenung di pinggir sungai. Waktu menuju maghrib tinggal beberapa menit, tidak mungkin lagi bagi Tugio melanjutkan memancing ikan di sungai.
Akhirnya Tugio pulang dengan tangan kosong. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk jarum. Sakit dan pedih. Kejadian yang sangat menyakitkan sepanjang hidup Tugio, disaat anaknya sakit dan tidak memiliki uang serupiahpun. Giliran ada sedikit ikan yang akan dijual, ternyata dirampas orang. Jumlahnya memang tidak seberapa dibanding sakitnya anak Tugio yang bibirnya sudah membiru. Tentu sangat berarti.
‘’Terus bagaimana Pak,’’ ucap istri Tugio.
‘’Ya sudah kita bawa saja anak kita ke bidan desa. Mumpung belum benar-benar terlambat. Kan sakitnya baru dua hari ini. Biarlah nanti kita ngomong terus terang dengan Ibu Bidan,’’ kata Tugio.
Sesampainya di tempat praktek bidan desa, Tugio langsung membawa anaknya masuk ke ruang pengobatan. ‘’Sudah berapa hari panasnya, Pak?’’ tanya bidan sembari memeriksa perut anak saya dan meraba-raba punggungnya yang masih terasa panas. ‘’Dua hari ini, Bu. Selain panas, juga mencret-mencret,’’ sela istri Tugio.
‘’Saya hanya akan kasih racikan penurun panas. Sebabnya anak ini tidak mungkin disuntik, selain masih bayi, juga kondisi badanya masih panas. Kasih minum banyak-banyak dan dikompres setelah pulang dari sini,’’ pinta ibu bidan.
‘’Ya, Bu,’’ jawab Tugio.
Setelah bidan desa menyodorkan racikan penurun panas, mulut saya terasa berat berterus terang bahwa saya tidak punya uang untuk membayar pengobatan ini.
‘’Maaf Bu, saya nggak punya uang untuk ongkos pengobatan. Tadi siang bapaknya mancing, maksudnya mau dijual buat pengobatan, tapi ikannya diminta orang, katanya dilarang memancing. Jadi ya minta maaf Bu, saya nggak punya uang,’’ ujar istri Tugio.
Ibu Bidan lama memandangi istri saya dan anak saya yang bibirnya terlihat pucat. Tidak seperti biasanya, setiap menangani pasien separah apapun, Ibu Bidan bersikap biasa-biasa. Tapi kali ini, ibu bidan seperti terkejut dan sempat termenung. Bahkan Tugio melihat kedua mata Ibu Bidan terlihat lembab. ‘’Apa karena dia kasihan dengan anak saya, ya?’’ batin Tugio.
‘’Ini sekedar buat kebutuhan Ibu di rumah. Anaknya jangan lupa dikompres, ya,’’ Ibu Bidan menyodorkan amplob berisi uang seratus ribu rupiah. Tugio merasa kebingungan menerima pemberian ibu bidan. ‘’Bukankah seharusnya kami yang membayar biaya pengobatan?’’ piker Tugio. ‘’Terima kasih Bu, smoga Allah memberi rezeki banyak pada Ibu,’’ sahut Tugio singkat.
Ibu Bidan langsung masuk kamar, mencari putrinya yang bernama Ninda. ‘’Ninda, ikannya sudah digoreng apa belum? Kalau belum, kasihkan orang, atau buang saja,’’ kata ibu Bidan.
‘’Lho ada apa Bu,’’ Tanya Ninda keheranan.
‘’Pokoknya jangan dimasak. Buang saja, atau kasihkan orang sana,’’ pesan ibu Bidan. Ternyata ibu Bidan tahu bahwa sore tadi menantunya bernama Dedy, memang membawa ikan gabus dalam kantong plastik warna hitam berjumlah 7 ekor dan 4 ekor ikan betok. Mungkin ikan yang dimaksud Tugio dirampas orang dengan modus melarang memancing, ya ikan yang siap dimasak putrinya. Hati Ibu Bidan pun terasa hancur meskipun belum sempat makan harta orang yang sedang kesusahan itu. Ibu bidan tak melanjutkan kata-katanya lagi kepada putrinya kecuali terus mengusap airmatanya yang meleleh ke pipinya. ‘’Ya Allah, engkau telah mengingatkan kami dari ketamakan, dan memakan harta orang miskin…ampunilah kami ya Allah…’’ Ibu bidan berdoa dalam hati.
Palembang, 22 Februari 2008
(Seperti diceritakan Tugio, nama samaran, kepada T Junaidi)
.
Bercerita kepada Allah
Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. mereka menikah sudah lebih 32 tahun.
Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa,setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bias digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.
Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian.
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan pak suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan pak suyatno memutuskan ibu mereka Dia yg merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata " Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak.bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu" .
dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya "sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi ,kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak,kami janji kami akan merawat ibu bergantian".
Pak suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka." Anak2ku Jikalau hidup didunia ini hanya untuk nafsu Mungkin bapak akan menikah, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah Melahirkan kalian".. sejenak kerongkongannya tersekat,
kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat menghargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini. kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang". kalian menginginkan bapak yg masih diberi Allah kesehatan dirawat oleh orang lain bagaimana dengan ibumu yg masih sakit.
Sejenak meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh
dipelupuk mata ibu suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.
Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber diacara islami Selepas shubuh dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa2..disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru disitulah pak suyatno bercerita".
Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai karena Allah semuanya akan luntur. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu2..
Sekarang dia sakit berkorban untuk saya karena Allah..dan itu merupakan ujian bagi saya, sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit,,,setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya dapat bercerita kepada Allah dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya..
Minggu, 10 Februari 2008
Apa Beda Merampok Dengan 86 ?
Suatu saat ada perampok tak mengakui sebagai perampok, tapi mereka bilang cuma mau 86
Koran-koran edisi Sabtu 26 Januari 2008, menempatkan berita utama drama perampokan yang dilakukan 5 oknum polisi di Palembang. Korbannya pengendara sepeda motor pasangan suami istri (pasutri) bernama Suryadi dan Suryani, pemilik sebuah counter Hp di bilangan Jl Beringin Janggut, warga Jl Kolonel H Barlian, RT 25/09, Kecamatan Sukarami, Palembang. Modusnya memang cukup dramatis, sebab pasutri ini disekap di dalam mobil dan dibawa berputar-putar selama empat jam dengan mata tertutup, mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB, Rabu (23/1). Selanjutnya, seperti dilaporkan korban kepada Propam Polda, Kamis (24/01/08) pelaku mengatakan korban ada uang berapa jika ingin dilepas lagi. Malam itu, korban terpaksa menyerahkan uangnya Rp7 juta dan 1 unit Hp Sony Ericcson. Berhasil menguasai uang dan Hp tersebut, kedua korban diturunkan di kawasan Pakjo ujung, sekitar pukul 23.00 WIB sembari mengembalikan sepeda motor milik korban. Kasus akhirnya berkembang dengan istilah lain--versi polisi, yakni menangkap kasus sabu-sabu (SS) kemudian ditangani sendiri dengan cara di 86-kan. Wah wah… -------------------------- Istilah 86 memang cukup popular dikalangan aparat dan menjadi buah bibir para wartawan yang ngendon (ngepos) di kantor polisi. Para Redaktur surat kabar sering kecolongan dengan istilah 86 ini, padahal subtansi isi permasalahannya mungkin lebih menarik, namun karena di-86-kan, alias damai, membuat para wartawan lupa dengan naluri jurnalistiknya. Mungkin juga penyakit ketidaksadaran secara kolektif membuat wartawan yang ngendon di kantor polisi ikut mengamini 86. Dan besoknya tidak ada berita yang harus ditulis karena sudah di-86-kan, alias Berita Acara Pidana (BAP) dianggap tak pernah ada. Bila sudah demikian, apa yang harus diberitakan? Semua aman. Nah karena 86 ini dianggap aman, maka 86 bisa dikawatirkan menjadi senjata ampuh untuk melegalkan tindakan tak terpuji yang dilakukan oknum polisi atau penegak hukum. Apapun bisa di-86-kan tergantung berapa karat dan seberapa banyak harga tawarnya. Bila dianggap memuaskan, kasus-kasus hukum dengan gampang dihapus tanpa proses hukum lebih lanjut. Kasus 86 ini sebenarnya juga tak asing di kalangan masyarakat, terutama orang-orang yang berkutat dibidang pekerjaan yang berbau illegal, bisa masalah kayu, judi, pencuri, panti pijat terselubung alias prostitusi, dll. Bahkan sering kita dengar menimpa masyarakat pedesaan yang tidak mengerti masalah hukum. Yang jadi pertanyaan, apa bedanya 86 dengan memeras atau merampok secara halus? Mungkin suatu saat nanti ada perampok yang tidak mau mengakui sebagai perampok, tapi mereka mengatakan, ‘’Kami bukan perampok pak, cuma mau 86,’’
Benteng Kuto Besak Tinggal Kenangan
Berkawan Akrab Dengan Preman Musi
Nasib Petani Kini
Sepuluh tahun saya merasakan menjadi anak petani ulung di pelosok desa pedalaman Airsugihan. Sebuah desa yang sulit dijangkau orang kota. Tidak ada jalan darat yang mampu menghubungkan desa kami menuju kota Palembang. Satu-satunya jalan yang bisa dilalui adalah menyusuri sungai dan rawa-rawa. Meski desa kami ‘terisolasi’ dengan daerah luar, anehnya selama puluhan tahun saya dan petani-petani lainnya bangga menjadi petani. Kebanggaan itu terutama ketika pemerintah selalu mengagung-agungkan petani sebagai orang yang berjasa terhadap negeri ini. Kami adalah ujung tombak kemakmuran dan penopang program swasembada pangan negeri ini. Kami sangat bangga.