Minggu, 10 Februari 2008

Apa Beda Merampok Dengan 86 ?




Suatu saat ada perampok tak mengakui sebagai perampok, tapi mereka bilang cuma mau 86


Koran-koran edisi Sabtu 26 Januari 2008, menempatkan berita utama drama perampokan yang dilakukan 5 oknum polisi di Palembang. Korbannya pengendara sepeda motor pasangan suami istri (pasutri) bernama Suryadi dan Suryani, pemilik sebuah counter Hp di bilangan Jl Beringin Janggut, warga Jl Kolonel H Barlian, RT 25/09, Kecamatan Sukarami, Palembang. Modusnya memang cukup dramatis, sebab pasutri ini disekap di dalam mobil dan dibawa berputar-putar selama empat jam dengan mata tertutup, mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB, Rabu (23/1). Selanjutnya, seperti dilaporkan korban kepada Propam Polda, Kamis (24/01/08) pelaku mengatakan korban ada uang berapa jika ingin dilepas lagi. Malam itu, korban terpaksa menyerahkan uangnya Rp7 juta dan 1 unit Hp Sony Ericcson. Berhasil menguasai uang dan Hp tersebut, kedua korban diturunkan di kawasan Pakjo ujung, sekitar pukul 23.00 WIB sembari mengembalikan sepeda motor milik korban. Kasus akhirnya berkembang dengan istilah lain--versi polisi, yakni menangkap kasus sabu-sabu (SS) kemudian ditangani sendiri dengan cara di 86-kan. Wah wah… -------------------------- Istilah 86 memang cukup popular dikalangan aparat dan menjadi buah bibir para wartawan yang ngendon (ngepos) di kantor polisi. Para Redaktur surat kabar sering kecolongan dengan istilah 86 ini, padahal subtansi isi permasalahannya mungkin lebih menarik, namun karena di-86-kan, alias damai, membuat para wartawan lupa dengan naluri jurnalistiknya. Mungkin juga penyakit ketidaksadaran secara kolektif membuat wartawan yang ngendon di kantor polisi ikut mengamini 86. Dan besoknya tidak ada berita yang harus ditulis karena sudah di-86-kan, alias Berita Acara Pidana (BAP) dianggap tak pernah ada. Bila sudah demikian, apa yang harus diberitakan? Semua aman. Nah karena 86 ini dianggap aman, maka 86 bisa dikawatirkan menjadi senjata ampuh untuk melegalkan tindakan tak terpuji yang dilakukan oknum polisi atau penegak hukum. Apapun bisa di-86-kan tergantung berapa karat dan seberapa banyak harga tawarnya. Bila dianggap memuaskan, kasus-kasus hukum dengan gampang dihapus tanpa proses hukum lebih lanjut. Kasus 86 ini sebenarnya juga tak asing di kalangan masyarakat, terutama orang-orang yang berkutat dibidang pekerjaan yang berbau illegal, bisa masalah kayu, judi, pencuri, panti pijat terselubung alias prostitusi, dll. Bahkan sering kita dengar menimpa masyarakat pedesaan yang tidak mengerti masalah hukum. Yang jadi pertanyaan, apa bedanya 86 dengan memeras atau merampok secara halus? Mungkin suatu saat nanti ada perampok yang tidak mau mengakui sebagai perampok, tapi mereka mengatakan, ‘’Kami bukan perampok pak, cuma mau 86,’’

Tidak ada komentar: