Minggu, 10 Februari 2008

Berkawan Akrab Dengan Preman Musi


Gara-gara Pempek Ubi Awal terjadinya cerpen ‘Keangkuhan di Geladak Kapal’ (kumpulan buku Romansa 1996) tak lain merupakan potret lengkap Benteng Kuto Besak tahun 1992. Saat itu Benteng Kuto Besak benar-benar menjadi daerah texas. Sarang preman kelas teri hingga kelas bajak laut. Pokoknya Benteng ngetop dari sisi penjahatnya. Saya sadar Benteng Kuto Besak saat itu memang angker, tapi saya tak pernah menaruh rasa angker dalam hati saya. Yang terlintas di kepala saya, adalah jembatan Ampera dan sungai Musi. Mengapa saya penasaran dengan sungai Musi dan jembatan Ampera? Pertama sungai Musi dan Jembatan Ampera masuk dalam buku pelajaran sejarah kelas IV SD tahun 1980-an. Dan ketika saya menjawab soal tentang sungai terlebar di Indonesia adalah sungai Musi, saya mendapat nilai seratus oleh guru SD saya ketika di Jawa. Whow… Dan ketika saya dewasa, saya benar-benar melancong ke Palembang. Kawasan yang pertama saya tuju adalah Jembatan Ampera, kemudian saya duduk-duduk dipinggir sungai Musi (sebelum plaza BKB) pinggiran sungai musi terutama dibawah jembatan Ampera, benar-benar jorok. Sampah menggung dimana-mana. Sepanjang jalan BKB dijadikan tempat jualan pisang, ubi, dan warung kopi plus tempat mangkal para calo penumpang speedboard yang juga merangkap sebagai preman. Saya benar-benar menikmati suasana semrawut seperti itu. Saya suka dengan lalu lalang kapal jukung, speed, dan beberapa kapal-kapal pedagang. Tentu saja ini hal yang baru bagi saya, karena ditempat saya lahir, Semarang, saya hanya bisa melihat hamparan persawahan, bukan melihat sungai lebar seperti sungai Musi. Setengah jam kemudian setelah saya menyaksikan kesemrawutan sungai musi, tiba-tiba dua orang setengah baya duduk disamping kiri dan kanan saya. Dua orang kemudian dibelakang dan di depan saya. ‘’Mau kemana mas,’’ sapa mereka dengan nada sopan. Saya jawab, ‘’Saya hanya ingin melihat sungai.’’ Mereka mulai menggeser duduknya merapat di tempat duduk saya. ‘’Orang baru ya,’’ kata salah seorang dari mereka. ‘’Maksudnya…?’’ tanya saya. ‘’Maksudnya dari seberang Jawa?’’ Saya jawab iya. ‘’Kenalan dong’’ sembari mengulurkan tangannya. Saya pun menyambut hangat perkenalan mereka. ‘’Bagi rokoknya,’’ kata salah seorang dari mereka. Saya menyodorkan sebungkus rokok Bentoel (wah iklan ini). Mereka menggelengkan kepala. ‘’Disini gak ada rokok bentoel, batuk. Mereka maunya rokok Dji Sam Soe,’’ kantanya. ‘’Bajigur…!’’ umpat saya dalam hati. ‘’Nih ada 20 ribu’’ saya mengeluarkan dompet dan meletakkan 2 lembar 10 ribuan di atas rokok bentoel. Teman yang lain memegang tangan saya dan melihat arloji yang saya pakai. ‘’Wah Seiko otomatis, bagus ini,’’ kata salah seorang dari mereka. Saya jawab, ‘’Kamu mau? Ambillah kalau mau …’’ kata saya. Dia lalu melepaskan tangan saya. Saya tetap cuek menghisap rokok sembari terus menyaksikan suasana sungai Musi. Lama-lama teman-teman yang tadinya mengepung, satu persatu berlalu begitu saja tanpa ada yang mau mengambil uang yang saya letakkan di atas rokok, begitu juga arloji yang saya pakai. Esok harinya saya mengulangi nongkrong di pinggir sungai musi. Keempat orang yang kemarin mengepung saya tak lagi tampak. Tapi kali ini yang datang orangnya tinggi besar (gendut) dengan cirri tai lalat dipinggir hidungnya. Orang-orang Benteng menyebut dia adalah Kadir Pentol. Entah, mungkin karena kecuekan saya, sehingga saya malas untuk mengira-ngira tentang seorang Kadir Pentol, apakah dia preman hebat atau orang biasa-biasa, saya tak mau ambil pusing. Tapi dari gelagatnya, dia sangat disegani di kawasan Benteng. Saya kemudian hanya duduk ditemani Kadir Pentol seharian di pinggir musi. Pembicaraan kami ngalor-ngidul tanpa ada tujuan, hingga akhirnya saya membicarakan tentang sejarah sungai musi yang menjadi impian saya sejak kecil. Kadir Pentol pun manggut-manggut. ‘’Jadi kamu seharian hanya melihat sungai musi?’’ kata Kadir Pentol seperti keheranan. ‘’Ya, saya juga bisa makan pempek asli Palembang. Sebab selama ini pempek-pempek yang saya makan hanyalah pempek yang terbuat dari ubi kayu yang diisi gula merah lalu dipanggang,’’ Kadir Pentol langsung tertawa terbahak-bahak. ‘’Dasar Jawo…’’ gurau Kadir sembari menepuk pundak saya. ‘’Aku yang traktir makan pempek Palembang,’’ tiba-tiba Kadir menawarkan kebaikan pada saya dengan bahasa Palembang kental. ‘’Gak usah, saya aja yang traktir, saya masih ada uang tujuh ribu rupiah,’’ kata saya. Kadir hanya cengar-cengir. ‘’Dengan uang tujuh ribu kok bangga,’’ katanya lagi. Keesokan harinya, saya datang lagi ke pinggir sungai Musi. Kali ini tidak langsung duduk, tapi mata saya menyapu kesemua arah mencari Kadir Pentol. Tapi gerak-gerik saya justru menjadi perhatian orang-orang yang nongkrong disana. Akhirnya saya menjadi ‘mangsa’ bagi para calo dan preman di sana. Untung saya tidak kehilangan apa-apa, karena saya memang gak punya apa-apa. Dan pada saat bersamaan, Kadir Pentol tiba-tiba muncul dari balik warung kopi sembari menuding kearah orang-orang yang mengerumuni saya. ‘’Hoii…jangan ganggu, tabok kau…!’’ gertak Kadir. Saya sempat bingung, apa yang sebenarnya terjadi? Lantas siapa sesungguhnya Kadir Pentol? Sejak saat itulah aku tak pernah diganggu orang. Malah sebaliknya, saya seperti jagoan baru yang ditakuti di sarang preman. Saya sendiri tidak tahu mengapa orang takut pada saya, padahal saya sesungguhnya orang yang tidak bisa berkelahi dan tidak punya bakat untuk berkelahi. Beberapa tahun setelah saya tidak lagi nongol di pinggir musi, Kadir Pentol dikabarkan telah meninggal dunia karena dikeroyok preman lain. Innalillahiwainnailaihi roojiun…! Inilah seklumit perkenalan saya sebagai turis domestik bersama preman musi, dan menjadikan inspirasi saya membuat cerpen Keangkuhan di Geladak Kapal. Mudah-mudahan perkenalan Visit Musi 2008 bisa lebih santun lagi! Meski pada pembukaan Visit Musi 2008 sempat diwarnai insiden berdarah di halaman museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Musi memang tak habis menorehkan tinta sejarah baru.

Tidak ada komentar: