Benteng Kuto Besak Tinggal Kenangan Sungai Musi memang cukup melegenda. Sungai yang mengalir dari muara sungai Sungsang hingga ke sembilan anak sungai musi di Sumsel ini, telah melahirkan banyak cerita, mulai dari kisah cinta asmara Siti Fatimah dan anak Raja China Tan Bun An di tengah sungai musi, bajak laut tersohor hingga mendirikan kerajaan Naga Pura (sebelum kerajaan Palembang Darussalam), cerita heroik Sultan Mahmud Badaruddin II, hingga cerita misteri jatuhnya helly dan pesawat silk air yang korbanya (baik pesawat maupun penumpangnya) hanya ditemukan berkeping-keping sebesar ibu jari). Sungai Musi memang sumber impian semua orang—telah melahirkan ispirasi kreatif para musisi untuk menciptakan lagu-lagu berkaitan dengan sungai musi, missal almarhum Karel Simon dengan lagu legendanya, Si Biduk di Sungai Musi, Mutiara dari Palembang, Palembang diwaktu malam dan lain-lain. Seorang T Wijaya (cerpenis) terinspirasi sungai musi untuk membuat novel Juaro, begitu juga saya menulis ‘Keangkuhan di Geladak Kapal’ dibukukan dalam kumpulan cerpen ROMANSA dan lain-lain. Sungai Musi bukan tidak penting, juga bukan hal yang tak beralasan bila akhirnya dijadikan Visit Musi 2008 atau kunjungan wisata. Secara kasat mata, tak ada yang spesifik untuk dikagumi memang, airnya keruh, banyak sampah berserakan dipinggir Benteng Kuto Besak (BKB) yang merupakan ‘jantung hati’ alias tabir wisata musi kita. Kawasan alun-alunnya (tempat santai) hanya di depan Museum, selebihnya bibir sungai yang penuh dengan sampah. Pada pembukaan Visit Musi 2008 yang menelan dana miliyaran rupiah juga tidak spektakuler. Konser acara juga kurang menggigit, karena karya anak daerah kurang diakomodir, padalah seniman kreatif asli Palembang cukup banyak, Palembang juga punya Gedung Kesenian yang cukup mewah, ruang teater ber-Air Conditional (AC) dan cukup representatif untuk sebuah pertunjukan berskala nasional. Agenda ini sebenarnya penting untuk memberikan tontonan bergengsi dan intelek. Seperti di Thailand, ketika kita sampai di Thailand, langsung dikondisikan rencana perjalanan, mulai dari mengarungi sungai di Thailand, juga malamnya ‘dipaksa’ nonton teater yang merupakan karya anak bangsa Thailand. Benteng Kuto Besak menjadi saksi sejarah yang bisa ‘dijual’ kepada turis domestik maupun manca negara. Ketika orang memasuki gerbang Benteng yang bertembok besar dan kokoh, langsung terlintas di ingatan kita mengenai kisah heroik Sultan Mahmud Badaruddin II, yang merupakan tokoh pahlawan nasional dari Sumsel. Tapi apa dikata, Benteng sejarah itu hanya bisa dilihat dari luarnya saja. Sebab dalam Benteng Kuto Besak itu, isinya para serdadu dari Kesatuan Kesehatan DAM II Sriwijaya. Tidak ada yang bisa kita bawa pulang setelah melancong hingga ke BKB. Tentu saja harapan para turis ketika sampai di BKB, ada yang bisa dibawa pulang mengenai cerita-cerita sejarah Palembang. Sebab dalam Benteng tersebut, lengkap ada ruang-ruang yang konon merupakan ruang utama kesultanan, kamar mandi, kamar para istri (selir) dan juga ruang tahanan bawah tanah (pada pemerintahan Belanda) yang letaknya di belakang kantor pos pusat Palembang (kini dijadikan taman RS AK Gani). Entah bagaimana lagi arsitektur dan tata letak tahanan aslinya itu. Tak hanya BKB yang tinggal sejarah, Gua Jepang yang terletak di KM 5 juga menjadi gua sarang sampah dan cenderung ditimbun. Padahal gua jepang itu juga menyimpan nilai sejarah kepahlawanan bangsa kita merebut kemerdekaan. Lho, kok dilupakan begitu saja. Apa kata Bung Karno sang proklamator RI? JASMERAH ! (Jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Minggu, 10 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar