Minggu, 10 Februari 2008

Nasib Petani Kini



Oleh : T Junaidi
Sepuluh tahun saya merasakan menjadi anak petani ulung di pelosok desa pedalaman Airsugihan. Sebuah desa yang sulit dijangkau orang kota. Tidak ada jalan darat yang mampu menghubungkan desa kami menuju kota Palembang. Satu-satunya jalan yang bisa dilalui adalah menyusuri sungai dan rawa-rawa. Meski desa kami ‘terisolasi’ dengan daerah luar, anehnya selama puluhan tahun saya dan petani-petani lainnya bangga menjadi petani. Kebanggaan itu terutama ketika pemerintah selalu mengagung-agungkan petani sebagai orang yang berjasa terhadap negeri ini. Kami adalah ujung tombak kemakmuran dan penopang program swasembada pangan negeri ini. Kami sangat bangga.

------------------------


Sepuluh tahun kedepan, kebanggaan saya menjadi petani ulung pun sirna, setelah saya mencoba menjadi orang kota yang sedikit menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, meskipun masih berkelas komputer WS. Saya kemudian berpikir, alangkah bodohnya saya menjadi seorang petani yang selalu dimarjinalkan oleh ruang dan waktu. Selamanya saya tak mampu merubah nasib miskin menjadi kaya, kecuali saya memutar otak menjadi orang pintar, dan sekarang menjadi sedikit kaya. Sepuluh tahun kemudian, saya mencoba menengok desa saya yang saya tinggalkan, tak ada perubahan kemajuan yang menyolok, keculi kabar buruk bahwa desa saya menjadi pusat perhatian karena kemiskinannya. Menyongsong musim panen tiba pada bulan Maret nanti, petani kini sudah disongsong pula dengan harga beras yang melambung. Saya kembali merasa terpukul. Nasib petani memang tak pernah berubah, mereka tetaplah menjadi aktor penderita dalam berbagai hal, terutama kebijakan impor beras pemerintah tahun lalu maupun kini. Hingga memasuki 25 tahun sejak 1982 menjadi warga trans di jalur 23 Airsugihan, merupakan waktu yang cukup lama untuk merubah nasib. Lagi-lagi petani merasa bangga menjadi petani, termasuk bapak saya yang dulu pernah memanggul senjata sebagai pejuang kemerdekaan RI dan sekarang mendapat penghargaan tunjangan veteran (tuvet) dari pemerintah sebesar Rp 500 ribu per-bulan, bapak bilang petani merupakan pejuang sejati negeri ini. Sebab sejak jaman penjajahan dulu, petani sebagai pemasok logistik bagi pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan. Setiap panen tiba, mereka juga harus menyetor sebagian hasil panennya kepada penjajah Jepang ataupun Belanda. Setelah merdeka, mereka diangkat derajadnya sebagai peran utama dalam program lumbung pangan nasional. Predikat yang sangat membanggakan bagi mereka. Dan sekarang memasuki era reformasi yang menumbangkan orde baru dan orde-orde terbaru, petani tetap sebagai batu pijakan bagi kepentingan orang kota dan tengkulak kaya raya. Saya sedih, tetapi bapak saya tetap bangga menjadi petani. Begitu juga petani-petani yang lain, mereka tidak pernah merasa menjadi sebagai pejuang yang memakmurkan negerinya. Sampai-sampai mereka juga tidak sempat merasakan hasil panen yang ditanam dan dirawatnya selama empat bulan dihamparan persawahan. Sebab hasil panen mereka habis untuk membayar hutang selama musim cocok tanam. Perjuangan tanpa pamrih ini tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak. Petani selalu saja menjadi kaum yang terpinggirkan. Selalu menjadi bahan pergunjingan kaum elit, bahkan sering dituding sebagai pemasok angka kemiskinan nasional terbesar. Dan karena kemiskinannya ini pulalah mereka selalu dijadikan sebagai komoditas politik pihak-pihak tertentu. Saya jadi teringat dengan kejadian 25 tahun yang lalu, pada saat itu petani diagung-agungkan oleh pemerintah karena menjadi aktor utama dalam pembangunan bangsa. Tanpa peran serta petani maka negara Indonesia tidak akan ada artinya apa-apa. Kemudian para petani pun berlomba-lomba untuk memaksa produksinya masing-masing. Berbagai carapun dilakukan untuk menggarap sawah dan ladang. Mereka tak peduli bahwa ongkos menggarap sawah itu mahal, segala cara dilakukan termasuk hutang untuk mendapatkan bibit padi, obat-obatan, pupuk dan pengelolaan tanah. Tak hanya itu, petani terkadang juga mengorbankan masa kecil anak-anaknya untuk ikut menggenjot penggarapan sawah. Tak heran kebanyakan anak petani tak pernah aktif masuk sekolah, alasannya membantu orang tua menggarap sawah. Guru-Guru di desa pun maklum dengan kondisi seperti itu. Yang menyakitkan, ketika petani benar-benar bersemangat menggarap sawah, berbagai jenis obat-obatan untuk pertanian justru harganya mahal, pupuk bersubsidi jatahnya dikurangi, bahkan setelah sampai di tangan petani harga jualnya setinggi langit dan sulitnya mendapatkan barang-barang tersebut di pasaran. Harga pupuk yang biasanya dijual Rp 65 ribu, bila sapai dipedagang bisa mencapai Rp 75 ribu atau Rp 100 ribu bila ngutang. Dan disaat petani menjerit dengan segala kesulitannya itu, disongsong harga beras ikut-ikutan tak mau kompromi, maka lengkaplah petani sebagai aktor pelengkap penderita. Dan yang paling menyakitkan lagi, pemerintah mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton karena alasan menipisnya stok pangan nasional. Petani benar-benar sekarat. Bagaimana tidak, disaat mereka mengalami hantaman kanan-kiri, nyatanya pemerintah tidak segera turun tangan, malahan sibuk memperjuangkan nasib para pengusaha dan pemilik modal besar. Pemerintah berani melukai hati para petani dengan mengimpor beras dikala petani sedang akan menikmati harga beras yang merambat naik. Dengan entengnya mengatakan kalau persediaan pangan nasional bakal segera habis padahal beberapa minggu lagi akan tiba masa panen raya. Duh, nasib petani!

Tidak ada komentar: